Jakarta
adalah Ibukota negara Republik Indonesia. Kota dipinggir utara pantai pulau
Jawa ini telah berkembang demikian pesatnya. Tak terhitung jumlah gedung
pencakar langit dan bangunan tinggi lainnya menjulang dari tanah kediaman suku
Betawi ini. Menjadi tempat dengan perputaran uang terbesar se Indonesia membuat
Jakarta menjadi tujuan para pengadu nasib dari kota-kota kecil di sekitar
maupun para pendatang dari pulau seberang. Tidak heran jika Jakarta penuh sesak
oleh penduduknya yang terus berlipat ganda setiap tahunnya. Kerasnya hidup di
Jakarta juga tidak menciutkan nyali para pendatang yang justru semakin nekad
berjudi dengan nasib. Hingga terciptalah sebuah istilah “Ibukota lebih kejam
daripada Ibu tiri”. Hakikat Jakarta sebagai tanah impian tampaknya sudah
tergaris kuat dan dapat dibuktikan keabsahannya oleh sejarah peradaban kota itu
sendiri. Sejak sebelum VOC datang berdagang dan kemudian menjajah nusantara,
Sunda Kelapa sudah terkenal sebagai kota pelabuhan tempat bertemunya kapal para
pedagang nusantara hingga pedagang Eropa turut merapatkan sauhnya di kota ini
Semua
dimulai pada sekitar 500 tahun yang lalu saat sebuah bandar di muara sungai
Ciliwung mulai dipenuhi oleh para pedagang. Sebagaimana sebuah kota yang pesat
berkembang bila menjadi pusat aktivitas perdagangan. Begitu pula dengan
Jakarta. Memang tidak banyak catatan ataupun prasasti yang mencatat dengan detail
sejarah perkembangan bandar Jakarta. Baru setelah kedatangan bangsa Eropa,
bukti-bukti berupa catatan perjalanan dan juga prasasti berhasil terkumpul dan
membentuk sebuah kesimpulan tentang sejarah asal usul kota dengan banyak sungai
ini.
Jauh
sebelum dikuasi oleh Kerajaan Sunda, kota Kalapa sendiri adalah bagian dari
Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kerajaan tertua di pulau Jawa. Banyak
bukti-bukti benda-beda sejarah zaman neolitikum yang ditemukan di beberapa
wilayah Jakarta seperti kebon Nanas, Pasar Minggu, Kebayoran dan Jatinegara.
Dari benda yang ditemukan dapat ditarik kesimpulan jika pada sekitar tahun
1000M sudah ada kehidupan di kota Jakarta. Baru pada abad 14 Jakarta masuk
menjadi bagian kerajaan Sunda dan menjadi salah satu bandar yang punya peran
penting dalam menyokong aktivitas perdangan kerajaan Padjajaran tersebut.
Beberapa penulis Eropa menyebutkan bahwa
terdapat sebuah kota dengan bandar yang dipenuhi kapal-kapal pedagang dari
penjuru negeri. Kota itu disebut dengan nama Kalapa. Kota Kalapa ini menjadi
bandar utama dari sebuah kerajaan Hindu yang terletak tidak jauh dari sana,
namanya Kerajaan Sunda dengan ibukota Padjajaran. Letaknya sekitar 40 km masuk
ke pedalaman (lokasi kota Bogor sekarang).
Benar
adanya jika bangsa Eropa pertama yang singgah di Jakarta ialah bangsa Portugis.
Setelah menaklukkan Bandar Melakka pada 1511 dalam usaha mencari rute menuju
kepulauan Maluku yang kaya akan rempah-rempah, utusan Portugis mendarat di
Sunda Kelapa untuk berunding dengan utusan pemuka Bandar Kalapa dibawah kekuasaan
Kerajaan Sunda. Perjalanan itu dipimpin oleh Francesco de Sa pada tahun 1522.
Portugis datang dengan maksud berdagang dan langsung disambut baik oleh utusan
Kerajaan Sunda. Selain keinginan untuk berdagang, Raja Padjajaran juga meminta
bantuan Portugis untuk menghadapi Kerajaan Islam yang mulai banyak pengikutnya
di Banten dan Cirebon. Saat itu kota Demak menjadi pusat penyebaran agama Islam
di pulau Jawa. Maka diizinkanlah
Portugis mendirikan benteng di Sunda Kelapa di tepi kali Ciliwung. Namun ternyata
perjanjian tersebut terdengar hingga ke Demak dan memicu kemarahan kerajaan
Islam yang sedang menyebarkan pengaruhnya ke seantero Nusantara.
Kemudian
dikirimlah bala tentara dari Demak untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa.
Dipimpin oleh Panglima berusia muda bernama Fatahilah, akhirnya kota pelabuhan
itu jatuh pada tahun 1527. Tepat pada hari ini, Rabu 22 Juni tahun 1527,
Fatahilah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang artinya kemenangan
yang berjaya. Peristiwa kemenangan bersejarah itulah yang ditetapkan sebagai
hari jadi kota Jakarta saat ini. Kekuasaan Jayakarta dibawah pimpinan Fatahilah
semakin kuat dan meluas hingga Banten dan menjadi kerajaan Islam.
Kekuasaan
dan pengaruh Kerajaan Islam Demak di Jayakarta mendekati masa berakhirnya pada
tahun 1595 saat Corneliis de Houtman beserta rombongan kapal dagangnya merapat
di Banten dengan maksud mencari rempah-rempah untuk diperjualbelikan. Motif
uang dan keuntungan yang menggiurkan dari hasil alam bumi nusantara membuat
persaingan dagang menjadi tidak sehat dan mengarah kepada perpecahan. Maka pada
tahun 1602 berdirilah VOC (Verenigde Ost indische Compagnie) atau Serikat
Dagang Hindia Belanda yang bermaksud untuk mempersatukan para pedagang-pedagang
yang bertikai karena berebut menguasi sumber rempah-rempah. Para komglomerat
yang mengatur jalur perdagangan rempah Nusantara bersatu didalam wadah
organisasi yang dicetus oleh Johati van Oldenbarneveld ini. Dan seperti kita
ketahui bahwa VOC adalah cikal bakal korporasi besar yang kita kenal sekarang.
VOC
pelan-pelan membangun Batavia menjadi pusat perdagangan. Pusat kota yang
awalnya hanya berjarak 500 meter dari bandar mulai meluas hingga kearah
selatan. Tanah Batavia yang berawa-rawa karena dekat dengan laut memang mirip
dengan negara Belanda di Eropa sana. Itu yang membuat VOC kemudian membangun
sungai-sungai kecil (kanal) yang membelah-belah kota Batavia agar tampak mirip
dengan kota Amsterdam.
Kira-kira
seratus empat puluh tahun kemudian saat Perang Dunia ke 2 berkecamuk, Jakarta
dan juga Indonesia akhirnya jatuh ke tangan penjajahan Jepang yang masuk dengan
dalih sebagai “saudara tua” yang akan memerdekakan Indonesia. Batavia kemudian
berganti nama lagi menjadi Jakarta Toko Betsu Shi. Akan tetapi masa pendudukan
Jepang tidak berlangsung lama karena pada 17 Agustus tahun 1945 kemerdekaan
Indonesia diproklamirkan di Jakarta.
Sejarah
panjang telah bergulir ditanah yang sekarang kita tinggali ini. Jakarta sebagai
pusat bertemunya aliran sungai-sungai itu menyebabkan berbenturannya juga
berbagai macam budaya yang akhirnya bermuara pada sebuah akulturasi kebudayaan
yang tidak bisa dihindari. Ribuan nyawa telah berkorban dalam rangka merebut
sekaligus mempertahanakan kota Jakarta. Setiap inci tanah Jakarta dibangun
diatas darah dan air mata nenek moyang dan para pendahulu. Siapa sangka jika sebidang tanah yang
terbentuk akibat endapan lumpur sungai Ciliwung, Citarum, Kali Angke, Kali Baru,
Kali Bekasi dan Kali Marunda ini sekarang telah bertransformasi cepat menjadi
kota metropolitan yang hampir tidak menyisakan lagi tanah sebagai resapan air
sebagaimana fungsinya kota ini dahulu kala.
Kini
Jakarta telah bertransformasi menjadi kota dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa.
Belum lagi dengan para pendatang dari wilayah kota-kota satelit yang
mengelilingi Jakarta seperti Bekasi, Bogor, Tangerang dan Banten. Padatnya
penduduk Jakarta menjadi masalah baru yang seolah tiada henti. Ketersediaan
lapangan pekerjaan yang terbatas, luas tanah untuk pemukiman yang semakin
menyempit hingga masalah pembuangan warga yang mengakibatkan banjir disana
sini.
Tidak
mengherankan jika Jakarta dijadikan tujuan untuk mengadu nasib bagi orang-orang
daerah diluar kota besar Indonesia. Pembangunan di era Orde Baru yang sangat
sentralisasi memang membuat lapangan pekerjaan menjadi tidak merata. Kawasan
sibuk seperti jalan Jendral Sudirman seakan menjadi lapangan parkir raksasa
ketika jam pulang kantor tiba. Ratusan bahkan ribuan mobil seolah terparkir tak
bergerak terjebak dalam kemacetan panjang. Tiada fasilitas transportasi umum
yang memadai menjadi sumber permasalahan ini. Kalaupun ada yang dianggap cukup
“aman “ dan “nyaman” ditumpangi, misalnya Transjakarta, namun jumlah armada
yang belum sesuai kebutuhan menyebabkan antrian mengular yang bisa kita lihat
di setiap shelter-nya. Setali tiga uang dengan Transjakarta, KRL (Kereta Rel
Listrik) yang digadang-gadang menjadi pemutus simpul kusut kemacetan juga tidak
bisa banyak diharapkan. Kedatangannya yang sering terlambat, gangguan instalasi
disana-sini membuat pelanggan KRL sering gigit jari karena jadwal rutin
berangkat aktivitas sering molor.
Alhasil,
alih-alih menjadi solusi bagi kepadatan kendaraan pribadi di Jakarta, KRL hanya
dimanfaatkan oleh mayoritas golongan ekonomi menengah kebawah yang memang
mencari alternatif transportasi murah untuk bepergian. Sementara kalangan
“berpunya” tetap lebih nyaman menikmati previlage mereka sebagai golongan yang
mampu membeli kenyamanan sebuah mobil pribadi. Ataupun sekarang semakin
dimudahkan dengan hadirnya jasa taksi berbasis online yang lebih murah dan
efisien. Semakin padat lah jalanan ibukota dengan kendaraan pribadi.
Pemerintah
Daerah selaku pemegang kebijakan yang mengatur sektor publik di Ibukota Jakarta
ini juga bukannya tidak bekerja dan mencari solusi. Masalah kependudukan yang
selalu menjadi inti dari kepadatan kota ini sedikit demi sedikit mulai terurai.
Terbukti dari dibebaskannya beberapa lahan yang dianggap “hak” negara dari
oknum masyarakat yang menempati lokasi tersebut secara semena-mena. Relokasi
pemukiman padat penduduk yang sudah dijalankan dalam dua-tiga tahun belakangan
juga sudah menampakkan hasilnya walaupun belum bisa dibilang maksimal. Banyak
penduduk yang tidak punya kartu tanda penduduk Jakarta dengan berat hati
dipulangkan ke daerah masing-masing seraya dengan ditatanya pemukiman mereka
menjadi lebih baik. Solusi membangun Rusunawa (Rumah Susun Sewa) tampaknya jitu
mengatasi minimnya ketersedian tanah di Jakarta ini. Pertambahan penduduk yang
meledak cepat sangat tidak diimbangi dengan infrastruktur (perumahan) yang
memadai. Akibatnya banyak warga yang menempati wilayah-wilayah bantaran sungai,
taman-taman, dan kolong jembatan yang harusnya steril.
Setiap
hari adalah tantangan bagi penduduk Jakarta. Jalanan yang macet, belum lagi
tingkat keamanan yang semakin merosot membuat penduduk Jakarata dan sekitarnya
selalu waspada. Hampir tidak tersisa kenyamanan untuk pejalan kaki di kota
penuh polusi ini. Separuh bahkan seluruh trotoar sebagai sarana pejalan kaki
berjalan kini telah beralih fungsi menjadi pasar darurat. Seperti yang kita
lihat di Tanah Abang. Berkali-kali para PKL yang berjualan di trotoar terkena
razia, namun seolah tiada kapok mereka kembali berjualan esok harinya ditempat
yang sama. Mungki hanya satu harapan yang ditunggu-tunggu oleh jutaan warga
Jakarta yang menggantungkan nasib periuk nasi nya dari bekerja di perkantoran
wilayah Sudirman dan sekitarnya. Yaitu
mega proyek MRT (Mass Rapid Transportation) yang hingga kini sedang dalam tahap
pengerjaan. Proyek besar yang dicanangkan
sejak era Gubernur Jakarta sebelumnya ini diramalkan akan memutus rantai
kemacetan yang didominasi oleh kendaraan pribadi. Dengan asumsi bahwa kalangan
menengah keatas akan dengan senang hati memarkirkan mobilnya di garasi rumah
dan beralih ke moda transportasi masal nan cepat ini. Beberapa stasiun dibangun
dengan maksud menghubungkan titik titik pusat kesibukan di Jakarta dengan
kawasan pemukiman penduduk yang berada di pinggir kota. Semoga saja solusi yang
satu ini benar-benar bisa dilaksanakan dengan baik. Pun dengan dukungan dari
pemerintah pusat yang melengkapinya dengan kebijakan-kebijakan yang menitikberatkan
kepada penggunaan transportasi umum. Misalnya dengan menerapkan pembatasan jumlah produksi
kendaraan bermotor ataupun mengenakan pajak progresif bagi pemilik yang
mempunyai kendaraan lebih dari satu.
Akhir
kata, di umur yang ke 489 tahun ini, kita sama-sama berharap agar Jakarta
tercinta menjadi tempat yang lebih baik, damai, ramah dan nyaman untuk kita tinggali.
Sumber Gambar : Google Image
No comments:
Post a Comment