Rendang,
makanan yang satu ini selalu muncul di setiap perayaan Idul Fitri. Kuliner asli
suku Minang inilah yang ditengarai menjadi biang dari kenaikan harga daging
yang gila-gilan menjelang akhir Ramadhan. Bagaimana tidak, hampir 90 persen
muslim yang merayakan hari Lebaran pasti menyertakan menu rending ke dalam
daftar masakan wajib di hari kemenangan. Pasokan daging yang sebenarnya juga
tidak menutupi kuota permintaan konsumen menjadi semakin timpang karenanya.
Coba sekarang juga kamu melongok ke meja makan dirumahmu, atau pergi ke rumah
tetangga. Niscaya, makanan coklat kehitaman ini pasti tersaji di meja hidangan.
Kepopuleran rendang bahkan telah melintasi pulau-pulau nusantara bahkan hingga
ke dunia internasional. Yang membanggakan lagi, rendang telah dinobatkan
menjadi makanan terlezat pertama di dunia pada survey yang diselenggarakan oleh
CNN. Karena citarasa yang lezat pula, hidangan asal Sumatera Barat ini pernah
dibuatkan satu menu khusus di restoran burger cepat saji kenamaan asal Amerika
pada tahun 1987.
Nah,
kita semua sudah tahu rasa dan popularitas rendang yang mendunia. Tidak ada
salahnya sekarang kita membahas soal asal-usul dan sejarah yang berkaitan
dengan kuliner yang satu ini.
Rendang
mulai ditulis secara massif sebagai kuliner ciri khas suku Minang Sumatera Barat
pada abad ke 19. Namun diperkirakan umur
dari rendang itu sendiri lebih tua dari catatan yang tertulis. Diduga rendang
telah ada sejak 3 abad sebelumnya, yaitu sekitar abad 16. Beberapa literatur menuliskan bahwa masyarakat
Minang darek (darat) biasa melakukan perjalanan panjang menuju selat Malaka
hingga ke Singapura. Perjalanan itu bisa berlangsung selama satu bulan lebih
melewati hutan dan sungai-sungai. Tentu saja tidak ada perkampungan yang dapat
dijumpai sepanjang perjalanan. Untuk itulah biasanya suku Minang membawa bekal
makanan yang diawetkan agar bisa tahan lama hingga sebulan. Makanan itu adalah
rendang.
Dengan
tafsiran sejarah yang kurang lebih sama juga disimpulkan bahwa pada abad 16
suku Minang telah membawa rendang sebagai bekal mereka dalam meneroka (membuka
kampung baru) di pantai timur pulau Sumatera hingga Malaka, Malaysia dan
Singapura. Kegiatan meneroka yang berlangsung selama berbulan-bulan tentu
membutuhkan sumber makanan yang mudah dibawa serta tahan lama. Maka dari itu
asal usul rendang berkaitan erat dengan budaya dan kebiasaan lelaki suku Minang
yang kerap merantau (pergi ke luar pulau) dan membuka kampung baru di wilayah
lain.
Dari
kesaksian yang lain, tepatnya catatan Kolonel Stuers pada tahun 1827 yang
menulis tentang sastra dan kuliner, disebutkan deskripsi implisit tentang
kebudayaan, kearifan lokal, alam dan juga tradisi yang mengarah kepada suku
Minang di Sumatera Barat. Kuliner yang tertulis dalam catatan juga secara
implisit mengarah pada rendang. Dalam tulisan bangsa Belanda itu tertulis
tentang hidangan lokal dengan warna coklat kehitaman yang telah melalui proses
penghangusan dan kemudian ditafsirkan sebagai proses mengawetkan makanan.
Masyarakat Minang dahulu memang telah mengenal metode pangasapan dan
pengeringan makanan. Biasanya makanan dimasak hingga berjam-jam sehingga bumbu
meresap dan menjadi kering. Metode tersebut memang terbukti hingga kini dipakai
dalam membuat rendang “hitam” yang awet dan tahan lama. Frasa rendang sendiri
lahir dari istilah “marandang” yang artinya memasak santan kelapa secara
perlahan hingga mengering. Dan jika dilihat dari tingkat kandungan santannya
sendiri, proses marandang dibagi dalam tiga tahapan. Yaitu gulai, kalio dan
rendang. Mulai dari kalio dengan proses pemasakan yang lebh singkat sehingga
masih banyak kuah bumbu tersisa. Kalio yang sudah mulai menyusut kuahnya
sehingga berwarna merah keemasan. Hinga menjadi rendang yang relatif kering
bumbunya dan berwarna coklat kehitaman. Proses memasak ini
dikenal dalam seni kuliner modern dengan istilah ‘karamelisasi’. Karena
menggunakan banyak jenis bumbu, rendang dikenal memiliki citarasa yang kompleks
dan unik.
Tidak
ada yang benar-benar orisinil di dalam dunia ini. Istilah itu juga berlaku
untuk rendang. Karena sejarah rendang sendiri tidak lepas dengan kedatangan
orang-orang dari Arab dan India di kawasan pantai barat Sumatera. Dipercaya
bahwa pada abad ke-14, sudah banyak orang-orang India yang tinggal di daerah
Minang, dan bumbu serta rempah-rempah sudah diperkenalkan oleh orang-orang
tersebut. Ada juga dugaan yang mengatakan bahwa masakan kari yang sudah menjadi
makanan khas India dan diperkenalkan pada abad ke-15 di daerah Minang merupakan
dasar dari rendang itu sendiri. Hal ini sangat mungkin mengingat adanya kontrak
perdagangan dengan India pada masa itu. Ahli waris tahta kerajaan Paguruyung
juga membuka adanya kemungkinan bahwa rendang merupakan kari yang diproses
lebih lanjut. Yang membuatnya berbeda adalah rendang memiliki sifat yang lebih
kering, sehingga bisa jauh lebih awet jika dibandingkan dengan kari.
Penelusuran
tentang sejarah rendang akan membawa kita ke salah satu daerah di Sumatera
bagian barat, yaitu Minangkabau. Bagi masyarakat Minang, rendang sudah menjadi
salah satu bagian dari kehidupan kuliner mereka sejak jaman nenek moyang
mereka. Untuk sejarah kapan pertama kali rendang diciptakan sendiri, sayangnya
tidak banyak bukti tertulis yang dapat ditemukan. Salah satu dugaan yang muncul
di kalangan para peneliti adalah bahwa panganan ini telah muncul sejak orang
Minang mengadakan acara adat mereka untuk pertama kalinya. Awal mula sejarah
masakan rendang khas Padang ini terdengar dimana-mana
mungkin terjadi karena seni memasak ini terus berkembang dari Riau, Mandailing,
Jambi, bahkan hingga ke Negeri Sembilan yang merupakan negara bagian federasi
Malaysia karena perantau Minang yang tinggal di sana.
Rendang memiliki posisi terhormat dalam
budaya masyarakat Minangkabau. Rendang memiliki filosofi tersendiri bagi
masyarakat Minang Sumatera Barat, yaitu musyawarah dan mufakat, yang berangkat
dari empat bahan pokok yang melambangkan keutuhan masyarakat Minang, yaitu:
Dagiang (daging sapi), merupakan lambang dari
“Niniak Mamak” (para pemimpin Suku adat).
Karambia (kelapa), merupakan lambang “Cadiak
Pandai” (kaum Intelektual).
Lado (cabai), merupakan lambang “Alim Ulama”
yang pedas, tegas untuk mengajarkan syariat agama.
Pemasak (bumbu), merupakan lambang dari
keseluruhan masyarakat Minangkabau.
Dalam tradisi Minangkabau, rendang adalah
hidangan yang wajib disajikan dalam setiap perhelatan istimewa, seperti
berbagai upacara adat Minangkabau, kenduri, atau menyambut tamu kehormatan.
Dalam tradisi Melayu, baik di Riau, Jambi,
Medan atau Semenanjung Malaya, rendang adalah hidangan istimewa yang dihidangkan
dalam kenduri khitanan, ulang tahun, pernikahan, barzanji, atau perhelatan
keagamaan, seperti Idul Fitri dan Idul Qurban.
Zaman berganti, tahun demi tahun terus
bergulir. Kepopuleran rendang terus bertambah. Semakin meluas dibawa oleh orang
Minang yang menyebar ke seluruh penjuru nusantara, bahkan menjelajah dunia.
Jenis rendang pun tidak lagi hanya menggunakan bahan dasar daging sapi. Rendang
ayam, rendang talua (telur), rendang lokan (sejenis kerang dara), rendang hati,
rendang belut dan rendang paru menjadi varian perkembangan rendang seiring
terjadinya asimilasi kebudayaan serta kebiasaan para pembuatnya.
Sekian sejarah singkat asal-usul rendang.
Semoga dapat menjadi manfaat dan menambah kekayaan khasanah ilmu kita mengenai
kebudayaan nusantara, khususnya di ranah kuliner.
Sumber Gambar : Google Image
No comments:
Post a Comment