Kampung Naga, Keunikan Budaya dari Tasikmalaya




                              
Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Ci Wulan (Kali Wulan) yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda : sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga. Kontur tanah Kampung Naga berbukit bukit namun termasuk subur produktifitasnya. Luas Kampung Naga hanya satu hektar setengah yang didominasi oleh rumah dan pekarangan. Sisanya adalah persawahan yang panen dua kali dalam setahun. 

Kampung Naga merupakan satu dari sekian kampung / pemukiman masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadatnya. Mereka menolak intervensi luar kampung yang dianggap bisa merusak kelestarian adat istiadat kampung tersebut. Walaupun masih sangat menaati aturan yang sudah turun temurun dari nenek moyang, sesungguhnya masyarakat Kampung Naga sendiri tidak tahu asal usul kampung mereka itu. Masyarakat Kampung Naga menyebut kampung mereka "Pareum Obor" yang dalam bahasa Indonesia berarti "matinya obor (penerangan). Tentu saja nama tersebut berkaitan dengan asal usul Kampung Naga yang tidak jelas (gelap). Masyarakat percaya bahwa hal itu terjadi dikarenakan arsip asal usul Kampung mereka dibakar habis oleh gerombolan DI/TII pimpinan Kartosoewiryo. Saat itu tahun 1965, DI/TII membunguhanguskan Kampung Naga karena dianggap lebih mendukung Presiden Soekarno yang notabene berseberangan ideologi dengan Kartosoewiryo.

Adapula beberapa sejarah yang menyebutkan jika asal usul Kampung Naga bersumber pada  masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparna ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Namun masyarakat kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran versi sejarah tersebut, sebab karena adanya "pareumeun obor" tadi.

Untuk keyakinan, masyarakat Kampung Naga seluruhnya mengaku beragama Islam. Namun kepercayaan terhadap tradisi leluhur pun masih mereka pegang dengan sangat teguh. Contohnya ialah setiap memasuki bulan Haji tepatnya tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah) masyarakat Kampung Naga menyelenggarakan upacara Hajat Sasih yang mereka yakini setara dengan Ibadah Haji ke tanah suci Mekkah. Masyarakat Kampung Naga juga percaya jika sesuatu yang datangnya dari luar karuhun (leluhur) tidak boleh dilakukakan. Dan jika dilakukan maka akan menimbulkan bencana.
Masyarakat kampung naga percaya pada roh roh halus yang dikatakan senang mengganggu manusia. Roh tersebut diyakini bersemayam pada beberapa lokasi atau bangunan yang dianggap keramat/angker atau sanget. Demikian juga dengan Makam sembah Eyang Singaparna, Bumi Ageung dan juga tentunya masjid yang dianggap sebagai tempat yang sangat suci bagi mereka.

Dalam menjalankan kehidupan sehari hari masyarakat Kampung Naga masih memegang teguh tabu/pamali atau pantangan.  Pamali merupakan aturan tak tertulis yang wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat Kampung Naga seperti tata cara membangun rumah, letak arah, cara berpakaian dan kesenian. Karena kepatuhannya itu masyarakat Kampung Naga hingga saat ini masih tinggal di rumah panggung dengan bahan bambu dan kayu beratap daun nipah, ijuk dan alang alang. Rumah di Kampung Naga juga tidak boleh dilengkapi dengan perabotan rumah tangga umumnya seperti kursi, meja dan tempat tidur. Orang Kampung Naga juga percaya tidak boleh menempatkan pintu masuk dan keluar sejajar lurus karena bisa mengakibatkan rezeki yang telah datang langsung pergi melalui pintu belakang/keluar.

Jika diperhatikan, seluruh rumah di Kampung Naga selalu menghadap utara atau selatan. Keunikannya ialah rumah berjajar rapi dan bentuknya hampr serupa. Filosofinya ialah sebagai bentuk wejangan para leluhur agar masyarakat Kampung Naga jauh dari iri hati dan dengki.
Sedangkan untuk masalah kesenian, masyarakat Kampung Naga berpantangan untuk mengadakan pertunjukan yang berasal dari luar Kampung Naga sperti Wayang Golek, dangdut, pencak silat dan kesenian yang menggunakan waditra gong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang, pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga.

Pantangan lainnya ialah masyaakat Kampung Naga dilarang membicarakan soal adat istiadat mereka dan hal yang berkaitan dengan kampung mereka tersebut pada hari Selasa, Rabu dan Sabtu. Masyarakat Kampung Naga mempercayai bahwa ada bulan atau waktu yang dianggap buruk, pantangan atau tabu untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti membangun rumah, perkawinan, hitanan, dan upacara adat. Waktu yang dianggap tabu tersebut disebut larangan bulan. Larangan bulan jatuhnya pada bulan sapar dan bulan Ramadhan. Pada bulan-bulan tersebut masyarakat dilarang atau tabu mengadakan upacara karena hal itu bertepatan dengan upacara menyepi.

Secara keseluruhan, mengunjungi Kampung Naga bukanlah sebuah kunjungan atau wisata biasa karena disini kita dapat mengenal tradisi, adat istiadat masyarakatnya sebagai sedikit dari kearifan lokal yang masih bertahan ditengah modernisasi yang semakin mengikis itu semua.


Saksikan dan pelajari langsung keunikan budaya masyarakat Kampung Naga dalam balutan teknologi Virtual Reality 360 video pada link ini : http://threesix.tv/kampung-naga-documentary-2/

Unknown

A portal website containing a virtual 360 photo from the work of photographers throughout Indonesia. This website aims to showcase the natural beauty, tourism potential and diversity of Indonesian Art and Culture through the technology of virtual 360 photography. We bring Indonesia mission to bring beauty to be admired by everyone. www.indonesiavirtual.com also serves as a highly informative tourism directory visually. With the technology of virtual 360 photography, you will see a tourist destination in detail and interactive way. This technology provides an unique visual experience in comparison with text, photos, or videos that previously existed. For tourism related business such as hotels, cafes, entertainment venues, and so on www.indonesiavirtual.com is an image bank of virtual 360 photo that can be used to enrich the visual content on their official website. Where they can embed the file from www.indonesiavirtual.com and display the content into their website.

No comments:

Post a Comment